Sebelumnya, agar tidak terjadi suatu penipuan publik, notes ini bukan tentang EsBeYe, juga bukan tentang OBaMa. Tetapi, Presiden di rumah Elfandra, Mr. Elwindra. Jadi, kalau tidak berkenan, bacanya cukup sampai paragraf ini saja. Hehehe...
Qiu, artinya sembilan. Menjelang sembilan tahun, membuat keputusan tentang akan seperti apakah konsep Elfandra itu :-) Dan sampai sekarang pun, harus diakui, saya masih jadi penggemar setia dari Mr. Elwindra. Hehehe... Bukan rahasia lagi, kalau saya juga adalah pengagum dari anak-anak saya. Para calon profesor itu mengajarkan saya tentang bagaimana memahami banyak hal secara sederhana. Kesederhanaan yang sepertinya berasal dari sisi Mr. Elwindra. Mengingat saya yang super serius, serba dipikirin, dan repot! (Lirik si sulung dikit, mirip deh kita, Kak...) Orang-orang bilang, pasangan itu akan ada untuk saling melengkapi. Jadi, untuk orang yang secerewet Alfa, berisik, ga jelas, banyak maunya, ada Elwindra, yang calm, cool, pendiam, bicara hanya bila diperlukan. Hehe... Bertolak belakang ya sepertinya? Yang sama dari kami adalah ga terlalu perduli dengan apa yang diomongkan orang. Selain kesederhanaannya, juga kedewasaan pemikirannya. Hal ini tentunya bisa dijelaskan dengan selisih usia kami yang cukup jauh. Cukup untuk mengikis keegoisan saya, dan membuat saya lebih mau mendengarkan orang lain. Banyak sekali, yang bisa kami diskusikan bersama. Dan seaneh atau serumit apapun pikiran saya, ada dia yang siap menguraikan atau menyederhanakan permasalahan itu. Point menarik lainnya adalah *his poker face* hehehe... Entah pengaruh usia, yang membuat dia selalu tampak lebih dewasa, atau emang dasarnya cool dari sananya. Mau lagi marah, lagi senang, lagi sedih, ya mukanya gitu aja. Kalau saya pernah lihat dia panik luar biasa, itu hanya saat saya sedang berjuang melahirkan Alif, wajahnya pucat, sedikit lagi hampir seputih kapas. Dan kemudian ia terlihat begitu bahagia, itu saat membisikkan adzan di telinga Alif. Selebihnya? Dia begitu tenang. Setenang ketika ia membisikkan pada saya, di tengah perjuangan melahirkan Attar "Ayo, Ibu pasti bisa... Kita kan sudah pernah melalui ini..." Hahaha.. Padahal, saya tau dia sama tegangnya, sampai lupa bawa jaket perang untuk menghadapi saya, yang sudah disiapkannya jauh-jauh hari. Jaket bulu angsa setebal hampir 5cm untuk menghindari 'serangan gigitan dari saya'. Hasilnya, masih saja, dua-tiga bekas gigitan mewarnai lengannya saat itu. I love you, Ayah... :-) Ohya, dalam debat kami terakhir (bawel itu semacam trade mark buat saya), tanpa sengaja mencuri dengar pembicaraan dua jagoan "Denger ya Attar, ibu itu pasti kalo ngomong kaya orang marah... Cerewet deh. Ayah mah engga..." Aish, cukup efektif untuk mendiamkan saya saat itu juga. Dan di akhir debat, kembali si sulung bertanya, "Jadi, dari yang tadi Ibu dan Ayah omongin, yang bener siapa?" :-) untungnya si ayah sepakat menjawab "Ya.. Buat orang yang ngomong pastinya merasa benar. Tapi diomongin itu biar bisa tahu, yang bisa benar untuk dua-duanya yang mana.." Hehehe... Punya PR untuk menjadi setenang Ayah. Atau, sedikit mirip juga gapapa deh. Untuk seseorang sependiam dirinya, si Ayah punya confidence yang luar biasa, jika itu terkait tentang Bridge, Alif dan Attar. Dulu, masih saya ingat, jika berpamitan untuk ikut pertandingan, dan kemudian saya tanya bagaimana hasilnya, dia akan menjawab, "Tenang saja... Win is my middle name..." Jadi kangen deh dibawain piala sama Ayah... Untuk anak-anak, dia sering bilang "Alhamdulillah banget ya, anak-anak kita tuh ga aneh-aneh. Ga nakal, ga cengeng-cengeng ga jelas gitu..." Kami pun sering bertukar cerita tentang takjubnya melihat perkembangan anak-anak itu... Sembilan tahun. Bukan sesuatu yang istimewa. Juga tidak sempurna. Jatuh bangun di sana-sini. Tapi disini, saya masih percaya, hadirnya, adalah salah satu kejadian terbaik yang mungkin terjadi pada diri saya. Tetaplah menjadi Ayah, Suami, sahabat, teman nongkrong, partner, dan sebagainya, yang terbaik bagi saya. *kiss kiss* Your biggest fans: Alfa.
0 Comments
Seperti biasa awal tahun ajaran baru, anak-anak mendapatkan buku penghubung.
Dan tidak seperti biasanya, buku penghubung anak-anak kali ini sungguh membuat saya terheran-heran. Apalah yang ada di pikiran orang-orang yang men-design buku ini, kok anak kelas dua dan tiga SD sudah diharuskan menulis apa yang jadi hambatan dalam belajar, langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam mencapai cita-cita, dan sebagainya. Tapi lidah saya sudah kelu, sebenarnya. Selama saya masih memilih menyekolahkan anak di sekolah umum, ya sudah, mau diapakan lagi. Terpaksa diikuti prosedurnya. *sangat sangat ingin mencoba home schooling* Tibalah pada pertanyaan yang rasanya bertahun-tahun tapi belum ketemu jawaban yang pasti. =D Me: "Jadi, ibu isi apa nih cita-citanya kakak? Masih mau masuk surga aja kah?" Al: "Masuk surga nya sih mau. Tapi itu kan bukan pekerjaan..." =D ternyata jawaban saya waktu itu belum memuaskan hatinya. Menurut definisi Alif, cita-cita itu pekerjaan, pekerjaan itu adalah sesuatu yang menghasilkan uang. Itu saja. Baiklah, hmm... Profesi apa ya yang belum diceritakan ke Alif? Dokter, Insinyur, Pilot, Polisi, Tentara, Dosen, apalagi? Baru-baru ini tante saya bercerita tentang 'deritanya' menjadi teller bank. Lalu, tiba-tiba saya punya ide untuk memperkenalkan pekerjaan di dunia perbankan kepada Alif. Me: "Kalau jadi pegawai bank, mau ngga?" Alif: "Emangnya kerjaannya apa aja?" Me: *mikir-mikir dulu, bisa ga ya nanti jawab kelanjutan pertanyaan dia, agak bingung juga kalau harus menjelaskan peran manager, customer service, dsb* "hmm... banyak, ada teller, manager, customer service, direktur.." Alif: "Apa itu teller?" Me: *here we go.. tarik napas dalam-dalam...* "Teller itu kasir. Kalo di kantor Ayah, itu kira-kira seperti Mas Budi. Orang yang bertugas menerima dan memberikan uang ke nasabah..." Alif: "Apa itu nasabah?" Me: "Nasabah itu orang yang datang ke bank, bisa untuk menabung, pokoknya yang datang ke bank untuk memanfaatkan layanan bank nya." Alif: "Udah, gitu aja kerjanya? Menerima uang, menghitung uang, enak juga ya buu..." Me: "Tapi Tante Rika bilang, ada ga enaknya. Misalnya, kalau ada selisih dengan catatan, teller nya harus mengganti uangnya." Alif: "Maksudnya?" Me: "Iya, misalnya di catatan uangnya harusnya ada dua ratus juta. Eh, setelah alif hitung cuma ada seratus sembilan puluh juta. Sepuluh jutanya harus alif ganti lho..." Alif: "Lho kok gitu?" Me: "Iya.. Karena itu artinya alif ngga teliti..." Alif: "Hmm... Berat juga ya, bu. Kalau gitu, kalau alif jadi teller alif akan banyak-banyak berdoa, bu..." Me: "Emangnya alif mau berdoa apa?" Alif: "Semoga orang-orang ngantrinya ngga di meja alif. Kalau perlu alif bilang, tolong ke sebelah aja yaa... Jadi kan alif ga hilang uang." Me: "Hahahaha... Itu mah makan gaji buta namanya. Ngga boleh begitu dong. Nanti bos nya marah lho..." Alif: "Gitu ya bu? Uh.. Ya udah, kalo gitu gini deh, Bapak, Ibu, tolong uangnya ditaruh ke brankas sendiri yaa..." Me: "Weh, itu malah lebih ngga boleh lagi. Ngga semua orang diberikan akses ke brankas bank lho. Itu malah nanti lebih banyak lagi hilangnya...: Alif: "Duh. Terus gimana dong? Ada ngga sih pekerjaan yang ngga susah?" Hehehe... Ayo coba temans... Ada ngga pekerjaan yang ngga punya resiko? =D Siapa tau bisa jadi inspirasi nya alif. ;-) Semakin besar anak-anak, tiap hari berasa nonton Stand Up Comedy. Makin luas pemikiran mereka, semakin tak terduga komentar-komentarnya, yang kadang membuat kita sebagai orangtuanya terpana. Logika sederhana, namun tak terbantahkan.
Untuk saya pribadi, semakin besar anak-anak, ada teman ketika kerja. Ahahaha. Kaya apa komentar Kak Seto baca tulisan saya ini ya? =P Waktu umur 6 tahun, kalau Alif ikut ke kantor, senang rasanya kalau mau pulang ada yang bantuin meriksa komputer, apakah sudah dimatikan dengan baik atau belum, mematikan mesin ups. Hehe... Kemarin, banyak sekali lembar ujian yang harus saya koreksi. Sebagian besar adalah essay. Saya kurang suka tipe soal pilihan berganda, mungkin karena pengalaman pribadi yaa... Kalau sudah ga tahu apa jawabannya, metode meramal digunakan untuk memprediksi apa yaa kira-kira jawabannya. =D Tapi, dengan satu kelas sudah membuat kesepakatan, soal ujian adalah kombinasi dari pilihan ganda dan essay. Mulai deh, isengnya ibu kumat. Ngga bisa liat anaknya nganggur... Me: "Ayooo... Anak ibu siapa yang mau kerja? Ibu ada kerjaan nih..." At: "Ibu ini gimana sih, anak masih sekolah kok disuruh kerja!" *hueee... ini kira-kira komentar Kak Seto kali ya?* Me: "Hehe... Bantuin ibu dong. Ini, periksain lembar jawaban yang bagian pilihan gandanya. Nanti essaynya biar ibu deh." Bukan tanpa alasan saya minta bantuan Alif. Kalau pekerjaan yang melibatkan Matematika, perlu ketelitian, kecermatan, kayanya dia JUARA deh. Kalah sayanya juga. =D Al: "Okee... Alif mau..." *menyenangkan sekali anak ini, ga pernah bosan disuruh menghitung, mengerjakan LKS, belajar, semoga sampai besar begitu terus ya naaaak* Me: "Oke, ibu buatkan kunci jawabannya dulu yaa..." Sedikit usaha, kunci jawaban jadi. Saya memberikan contoh bagaimana cara memeriksanya, melihat dia melakukan koreksi pada dua lembar jawaban, untuk meyakinkan bahwa dia memang mengerti instruksi yang saya berikan. Yap, dia melakukannya sesuai harapan. Teliti, bisa dipercaya. Sayapun melanjutkan mengoreksi bagian essay, sambil melanjutkan diskusi tentang data Irena, yang saat itu juga sedang mampir ke *kantor keduaku* =) Satu yang agak sedikit susah dikoreksi dari si sulung adalah, dia bekerja sambil bicara. Semua dikomentari. Persis ibunya. =D Dan karena persis ibunya juga itulah, sudah pasti saya susah mau mengoreksinya. =D Mulailah komentar-komentarnya dia keluar... Al: "Ini gimana sih, masa cuma betul lima dari lima belas..." Di waktu lain dia berkata, "Ini juga, cuma tujuh...", sekali lagi, "Nah, ini malah cuma dua..." Saya pun menjawab komentarnya, Me: "Iya nih, ibu juga sedih deh, Kak" Karena di bagian essay pun saya bernasib kurang lebih sama dengan Alif. =( Tiba-tiba, dia nyeletuk lagi... Al: "Ibu... Ini beneran ada soalnya kan?" Diikuti Irena yang cekikikan. Awalnya saya ngga ngerti apa maksudnya, maklum, konsentrasi terbagi ke bagaimana caranya melakukan transformasi data, dan setumpuk lembar jawaban di depan mata. Me: "Ha?!?" Irena: "Anak lu lucu amat... Dia pikir itu mahasiswa lagi bikin kerajinan tangan kali yaa... Asal silang-silang doang..." =D Yap, sayapun ikutan nyengir. Apalagi si Alif menambah penjelasannya... Al: "Iya deh, Bu. Kalo dia belajar, masa salahnya banyak amat... Ibu beneran ini ada soalnya kan?" Weks. Dasaaaaaaarrrr!!!! Selain komentar Alif yang lumayan bikin sedih itu, *karena saya mikir, salahnya dimana, kok sampai jelek-jelek gini nilainya, padahal, itu asli di ambil dari empat materi kuliah terakhir, tanpa dimodifikasi sama sekali*, baru bisa merasa lega ketika mendengar dari mulutnya: Al: "Naaahh... Harusnya semua kaya Kakak Maria nih, betulnya 13. Hebat deh Kakak Maria..." =) Nah, kalau kamu teman? Lebih suka soal ujian PG atau Essay? Malem ini, abis bbm-an ama si mommy super keren, mbak yus. :-D Trus, kayanya yang ini dibuat notes aja deh, pengingat buat si ibu, supaya tetep disayang anak-anaknya.. :-D
Sewaktu alif attar masih batita gitu, susaahh banget ngajarin mereka berbagi. Padahal mau gimana lagi, tanpa mereka minta, ditakdirkan bersaudara. Hehehe... Sebelum si kakak bisa ngomong, udah ada 'calon adiknya', apalagi adik, dia lahir aja udah punya kakak. :-D Tidak ada pilihan sama sekali. Lumayan bikin bingung, sampai-sampai beli apa-apa tuh harus dua. Barang yang sama. Langganan majalah aja sampai dua, yang sama pula. Karena kalau beda, pasti aja jadi masalah. Ketika mereka 'agak besar sedikit', udah mulai bisa diajak ngobrol, barulah si kakak mengerti, bahwa posisinya sebagai kakak, membuat adiknya selalu ingin meniru apa yang dilakukannya, menjadi contoh bagi adiknya. Kakakpun belajar mengalah, juga dengan alasan, adiknya kan masih kecil, banyak belum mengertinya. Apakah masalahnya selesai? Hmm.. Barang udah ngga lagi harus sama, tapi tetap harus dua. (Kasihannya semua orang. Ga peduli siapa yang ulang tahun, adik atau kakak, ngasih kado harus dua). Lama-lama, si kakak kesel juga. Kenapa harus selalu ngalah? Kenapa adik nih ngga bisa dikasih tau? Heuheu.. Susah juga punya anak dengan kepedulian tinggi. Disamping bersyukur, katanya anak cowok tuh ga care ama adiknya. Si kakak mah, dari ujung rambut sampai ujung kaki adiknya diperhatiin bener. ;-) Ya, tapi lama-lama diajak ngobrol terus, batas toleransi mereka berdua makin besar. Udah makin jarang berantem. Sesekali masih sih.. Namanya juga anak cowok. Hingga kemudian sepupu mereka jadi sering nginep di rumah. Wah! Harus ada pembagian teritori lagi nih. Hehe.. Yang tadinya berbagi berdua, jadi harus berbagi bertiga. Kejadian jaman dulu itu keulang lagi, berebut mainan. :-D Sekarang ini yang berperan jadi kakak ada dua, si kakak, dan si adik yang sudah jadi abang. Dengan penuh konsekuensi, mereka belajar berbagi. Namun seperti kata pepatah, rumput tetangga selalu lebih hijau, apa saja yang sedang dipegang kakak dan abangnya, selalu terlihat lebih menarik buat si bungsu ini.. (Di rumah jadi bungsu dia, hehehe.. Walau masih berstatus anak satu-satunya) terbayang sudah kan betapa riweuhnya? Konsep berbaginya jadi harus ditata ulang. Sementara si bungsu juga protes, kenapa semua mainan cuma ada dua, kan anak ibu tiga?!? Huehehe.. Setelah sekian lama, terbiasa lagi mendengar.. "Ibuuuuuuu... Kakak nih..."; "Ibuuuuuuu... Abang nih...". :-D Lagi-lagi, pakai jurus andalan, banyak-banyak diajak ngobrol. Hasilnya, sepupunya anak-anak bilang: "Ih, ibu bawel deh..." Cuma bisa cengengesan aja liat si kakak dan abangnya ngakak denger sepupu mereka bilang gitu, padahal tadinya lagi berantem tuh bertiga... Aslinya pengen ketawa liat mereka berdua. Jangan-jangan emang gitu kali ya perasaan mereka selama ini. Cuma ga berani aja ngomongnya... Huahahaha... Makanya, resolusi tahun 2012 ini, ngurangin ngomel dan menjadi orang yang lebih sabar... Aamiin.. Biar anak-anaknya lebih sayang lagi sama ibunya.. :-D :-D Okay... karena sepertinya banyak yang ngga rela jika ada yang bilang saya cantik sekali #ketawa ngakak#, mari kita jelaskan kronologisnya, mengapa sampai anakku berpikir ibunya adalah wanita tercantik sedunia.
Sebetulnya, kalau boleh jujur, ibunya ini 'sedikit banyak' berkontribusi dalam munculnya statement itu. Dahulu kala, ketika rumah masih jauh banget dari kantor, kalau anak-anak cengeng kepala rasanya pusing sekali. Agar ngga cepet marah, dibujuklah anak-anak itu... "Kalau misalnya ibu baru pulang kantor, kakak atau adik mau minta sesuatu, jangan sambil nangis. Nanti ibu malah marah... Bilang gini aja -Ibuku yang cantik, anakmu yang ganteng ini mau minta sesuatu dong-" Nah, ini jadi semacam 'kalimat sakti' untuk minta sesuatu pada ibu. =) Tapi, sekarang sebenarnya sudah ngga lagi pakai kalimat sakti ini. Karena mereka toh sudah belajar, bahwa nangis tidak memberikan suatu solusi terhadap permasalahannya. Lebih baik disampaikan, apa yang mengganggu hatinya. Terus terang saya juga bingung, bisa-bisanya mereka bilang ibunya cantik sekali. Hahaha... Silahkan protes. Bagaimanapun, terukur di antara para perempuan cantik (walaupun hanya memiliki skor 1 dari 100), jauh lebih baik daripada terukur di antara orang-orang jelek (juga dengan skor 1 dari 100). Saya bukan orang yang suka berhias, bukan pencinta perhiasan, dan juga bukan seseorang yang mengikuti fashion. Mungkin, karena di rumah cuma ada saya dan mbaknya, makanya jadi dibilang cantik. Untuk membuktikan ini, tinggal menunggu beberapa tahun lagi sepertinya. Masihkah saya akan dianggap cantik, ketika ada 'bidadari' lain yang mungkin mengganggu konsentrasinya? =P Tapi, dari pembicaraan mereka berdua, (entahlah temans, mencuri dengar apa yang mereka bicarakan itu sudah menjadi favorit saya sejak dulu, karena seringkali menjadi hiburan, atau malah terkagum-kagum mendengarkan celotehan anak-anakku itu), kira-kira saya merumuskan inilah definisi cantik menurut mereka: 1. Berkerudung. Alif merumuskan perempuan cantik itu berkerdung. =) Entah kenapa, tetapi pertama kalinya dia melihat saya mengenakan kerudung, dia melarang saya membukanya selama satu hari penuh. Dipeluknya saya, seraya mengatakan, "Alif suka lihat ibu begitu..." Hmm... Itu sudah 3 tahun yang lalu ya? 2. Tidak berjerawat. Sentimen anak-anak nih. Dulu kalau liat ada yang jerawatan, dicium pun enggan. Menurut mereka, wajah bersih itu cantik. 3. Bisa bermain kartu. =D Ajarkanlah pada mereka permainan kartu yang belum pernah mereka mainkan. Segera saja, Anda akan menjadi 'luar biasa cantik'. Itulah tanda terimakasih mereka terhadap 'ilmu' yang baru diajarkan. =))) 4. Bisa menghitung perkalian dengan cepat. Alih-alih berkata 'pintar', mereka tetap berpendapat cantik sekali. Smart is beautiful? Entahlah... Mungkin cuma kagum saja. 5. Ketiak tidak boleh hitam! Silahkan tertawa. Karena saya pun geli mendengarnya. Ini hasil dari menonton putri Indonesia kemarin. Mereka protes, bagaimana bisa itu perempuan-perempuan kok ketiaknya dipamerin semua. Alif bilang, "Aduh... Bahaya banget, itu ketiaknya hitam. Kok dia ngga malu ya?" Dan saya tersenyum geli dalam hati, apakah nanti jika bertemu calon menantuku saya harus mengingatkan ini? Xixixixi... 6. Rajin tersenyum. Tentunya mereka tidak pernah mengatakan ibu cantik setelah ibunya habis marah kan? Kalau saya pulang kantor, atau pulang kuliah, sedang istirahat, lalu tiba-tiba mereka menyerbu untuk rebutan mencium atau memeluk, jika saya tanyakan, ada apa kok ini rebutan cium-cium ibu, jawabannya pasti, "Karena ibu itu cantik...". Menyisakan si ayah yang cemburu dan bertanya, "Kenapa ngga pernah rebutan cium ayah?" yang juga dijawab, "Karena ayah itu tidak cantik..." =D =D =D Jadi temans, jika tadinya 'over estimated' terhadap definisi cantik menurut anakku, itulah definisi cantik menurut mereka, sejauh ini, yang bisa saya telusuri. Kalau ada yang baru, nanti dikabari lagi... ;-) #untuk semua ibu, yang tercantik di dunia, di mata anak-anaknya# Cerita ini berawal dari dua tahun yang lalu. Dan, belum berakhir. Itu artinya, belum ada kesepakatan akan menjadi apa akhirnya..
Di tk, anak-anak belajar tentang profesi. Pilot menerbangkan pesawat, masinis dengan keretanya, dokter menyembuhkan orang sakit, hingga tiba pada suatu PR. Apakah cita-citamu.. Al : "Ibu, apa sih cita-cita itu?" Me : "Keinginan, sudah besar nanti mau jadi apa?" Al : "Jadi besar maksudnya?" Me : "Bukan.. Jadi dosen kaya ayah, misalnya.." Al : "Terus, cita-cita Alif jadi apa dong?" Me : "Ya ibu ngga tahu.. Coba dipikir-pikir dulu, maunya jadi apa.." Sepertinya yang saya minta cukup sederhana. Tapi tidak untuk si sulung, ternyata. Seperti biasa, apapun, itu harus dipikirkan baik-baik. :-) Setahun berlalu.. Al : "Ibu. Ngga apa-apa ya Alif ngga punya cita-cita.." Me : "Lho?!?" Al : "Gini lho ibu.. Alif ga berani jadi pilot, alif ngga bisa nerbangin pesawat, nanti kalo orang-orangnya pada mati gimana? Jadi tentara, nanti alif yang mati. Ibu bilang tentara-tentara yang di kapal selam itu sudah mati semua. Terus alif jadi apa dong?!?" Me : "Jadi dosen kaya ayah ga mau?" Al : "Ah, ayah kerjanya cemberut melulu.." #numpang ketawa dulu yaa..# Me : "Gini lho ya Alif.. Cita-cita itu boleh ganti-ganti. Ngga tercapai juga ngga apa-apa. Itu supaya kita punya semangat, untuk mewujudkan cita-cita kita.. Sewaktu kecil dulu, ibu pengen jadi dokter. Terus ibu lihat, dokter itu sukanya bikin anak kecil nangis. Jadi ibu ga mau. Ibu mau jadi dokter anak aja. Tapi ibu ngga suka anak cengeng. Jadi aja ibu ganti lagi. Ibu mau jadi guru. Tapi kalo muridnya bandel-bandel ibu sebel. Ibu ganti lagi. Ibu pengen jadi ahli matematika. Terus ngga bisa, ibu ngga keterima di ITB. Ya udah ibu pengen jadi ahli komputer aja. Tapi kata angku ibu belajar statistik aja. Ya udah deh, ibu mirip-miripin.. Ibu belajar statistik yang ada komputer-komputernya.." Al : "Waw.. Berarti cita-cita ibu sudah tercapai.." Me : "Maksudnya?" Al : "Ibu pengen jadi guru, sekarang ibu dosen. Ibu pengen jadi ahli matematika, ibu sudah pintar matematika. Ibu pengen pinter komputer, ibu juga pinter.." #Tercengang.. Dengan sederhananya alif mengingatkan bahwa sudah sepatutnya saya bersyukur dengan apa yang saya dapatkan sekarang..# Me : "Iya ya alif.. Kok ibu ngga mikir kaya gitu yaa?" Dua minggu yang lalu.. Al : "Ibu.. Gawat nih, alif belum juga punya cita-cita.." Me : "Masuk surga itu cita-cita juga lho.." Al : "Mana bisa, ibu.. Itu kan ngga kerja.." Me : "Masa iya ngga kerja? Kita bekerja.. Pekerjaannya adalah mematuhi perintah Allah.." Al : "Memang boleh begitu?!?" Me : "Boleh dong..." Al : "Ya udah deh, ibu.. Cita-cita Alif itu aja.. Alif mau masuk surga.." Sekarang Alif sudah punya cita-cita.. :-) Cita-cita yang hebat.. Dan kamu, sahabatku.. Apa cita-citamu dulu? Sore tadi, si bungsu bertanya.
"Ibu, apakah tendangan penalti itu?" Mikir-mikir... Kaya apa ya neranginnya, yang kira2 bisa dipahami oleh anak berumur 5 tahun? Dan seperti biasanya, pertolongan selalu datang dari si sulung, dengan tanpa terduga. "Begini, ya adik. Tendangan penalti itu tendangan yang, enak deh pokoknya. Orangnya tinggal nendang, ngga lagi dikejar-kejar sama orang." Apakah adiknya mengerti? Tidak... Dia malah tambah bingung. Sampai akhirnya, tendangan penalti itu di eksekusi. Dan dia berkata, "Oh, begitu ya maksudnya..." Sebetulnya pengen ngejelasin, seperti apa keadaan yang mengakibatkan penalti itu layak diberikan. Tapi, bagaimana kalau kita simpan untuk episode berikutnya saja? Tendangan yang enak?!? =D Bahkan Wayne Rooney saja bisa terpeleset ketika mengeksekusinya, anakku... Ramadhan = Petasan!
Meski ngga suka, ini suatu fakta, yang kayanya terpaksa harus diterima. Sangking nyatanya fakta ini, si Alif pun bertanya, "Ibu... Ini kan sudah mulai bulan puasa... Kok kita belum beli petasan sih?" Dan langsung saja si ibu pun mengomel, memangnya bulan puasa harus beli petasan. Plus segala macam omelan khas ibu-ibu yang ngga pengen anaknya main petasan, dengan menjelaskan apa bahayanya petasan itu. Hehehe... "Maksud Alif kembang api, ibuuuu..." Kata Alif sambil pasang muka sebel, sudah lapar, belum boleh buka puasa, sekalinya nanya, kena omelan pula. Gitu kali perasaannya ya? Hehehe... Sorry, dear son... "Iya deh... Nanti aja ya, malem takbiran aja kita main kembang api nya." Jawab saya ringkas. Makin lama 'bersahabat' dengan Alif saya belajar memberi jawaban 'efektif'. Jawaban yang sebisa mungkin tidak menimbulkan pertanyaan lagi, yang dapat diterima dengan akal mereka. Begitulah, janji adalah janji, dan malam takbiran yang betulan pun tiba. (Karena sebelumnya hanya hoax, saudara... ;-) Sumbernya hanya dari kalender saja) "Ibu, Attar mau beli kembang api sama petasan kentut, ini petasannya ngga bunyi kok ibu, cuma keluar asap aja." Attar menjelaskan sejelas-jelasnya, karena sudah pasti kena omelan kalo bilang mau beli petasan. Maksudnya bisa dimengerti, tapi, petasan kentut itu kaya apa sih? *bingung* "Hmm... Tanya Ayah aja deh." Enaknya kalo ada Ayah di rumah. Keputusan yang susah-susah, pertanyaan yang susah-susah, biar di pass aja. Hehehe... Si Ayah aja yang jawab. =D Sepuluh menit pergi, Alif Attar belum pulang. Perginya sama Oom Irilnya sih. Mulai deg-degan. Mau nelpon, langsung patah arang liat handphone mereka nangkring dengan manis di meja komputer. Yah, ga bawa HP nih anak-anak. Dua puluh menit, belum juga kembali. Hmmm.... Keluar deh paniknya, minta si Ayah nyari. Sambil coba nelpon Oom Irilnya, dan langsung sebel. Kebiasaan nih si Iril, di telpon ga diangkat. Tapi sambil mikir, kan dia nyetir ya? Malah bahaya kalo nyetir sambil telpon-telponan. Dan memutuskan untuk nangkring di teras nunggu mereka pulang. Tiga puluh menit, baru deh keliatan mukanya tuh dua anak kecil. Yang disertai, "Lama amat sih.... Ibu tunggu-tunggu nih daritadi. HP nya juga ngga dibawa lagi..." Pandang-pandangan deh Alif dan Attar. Bingung kali ya mau jawab apa. "Jauh nyarinya, Ni." Kata Oom Iril-nya. Memang dasarnya ibu-ibu itu lebay kali ya, ditinggal 30 menit aja langsung peluk-peluk dan cium-cium Alif Attar. =D Upah buat ngilangin deg-degan deh. "Ni, tadi di deket laundry situ ada maling, ketauan. Tuh lagi digebukin sama orang-orang. Itu juga sih makanya tadi jadi lama." Kata Om Irilnya lagi. "Eh? Hubungannya apa?" "Iya,tadi liat orang lari-lari, kirain kenapa. Taunya ada yang ngejar. Trus pas kena dipukulin. Alif Attar nanya, itu orangnya kenapa dipukulin. Kata Dede, karena ketauan mencuri. Tau ngga Attar bilang apa?" "Apa emangnya?" "Kalo gitu, Oom Iril... Attar ngga mau mencuri deh... Nanti Attar pinjam aja..." *jreng-jreng, si ibu nyengir... kalo minjam nya ngga pake izin ya mencuri juga namanya, Nak* Malam itu waktunya ngobrol, waktunya curhat, di ruang keluarga kami yang kecil. ^_^
But I'm happy with this, strategis, kemana-mana deket, ke dapur deket, ke kamar mandi deket, =D Sejak lahir, Alif Attar sudah sering pindah rumah. Alif apalagi, karena dia kan lahir duluan. Di Kendari saja, kami satu kali pindah. Lalu pindah ke Jakarta, di Cempaka Mas, terus ke Depok, balik lagi ke Jakarta, di Jatiwaringin, dan pindah lagi ke rumah yang sekarang. Dengan si ayah, janjian, bahwa ini pindah kontrakan terakhir deh. Cape pindah-pindah terus ternyata... ^_^ Doain ya cukup rejeki buat bangun rumah... Ternyata, Alif dan Attar itu memperhatikan 'kehebohan' setiap pindah rumah. Kirain mereka taunya berantakin mainan doang, hehehe... Dan malam itu, inilah pertanyaannya... Attar: "Ibu... Kalo ibu meninggal, Alif Attar sama siapa?" Entahlah apakah mereka berdua pernah membahas soal ini. Kadang-kadang saya suka bingung sendiri menghadapi pilihan topik pembicaraan mereka tuh... Dan entah kenapa pula, anak-anak ini lagi khawatir sekali tentang kematian. Mungkin efek acara Ramadhan yang selalu mengingatkan "Beribadahlah seakan-akan kamu akan mati besok..." Dan jagoan-jagoanku menerjemahkannya secara harfiah, mungkin... Saya: "Kan ada Ayah, sayang..." Attar: "Kalo Ayah juga meninggal?" Saya: "Kan ada kakak Alif?" Attar: "Ih... Kita kan masih kecil semua, masa ngga ada orang besarnya yang jagain?" Saya memandang mereka dengan bingung. Entah apa yang diharapkan si bungsu ini dengan pertanyaannya. Memang sebelumnya kita pernah membahas kematian, bahwa itu bisa datang kapan saja, tidak perlu menunggu tua (karena sebelumnya Attar pernah berdoa semoga umur saya sampai seratus tahun supaya bisa bersamanya terus). Alif: "Gini lho ibu maksudnya... Alif Attar kan masih kecil. Kita kan ngga punya uang buat pindah, kita juga ngga bisa angkat-angkat barang. Nanti kalo kita diusir gimana?" Ya, dan saya pun bertambah bingung. Hehehe... Sepertinya belum membahas rencana pindahan sama mereka. Kenapa tiba-tiba nanyain itu? Saya: "Oh, itu maksudnya... Tenang aja... Kan ada Oom Uyung, Oom Iril, Oom Farid." Alif: "Gimana caranya ngasih tau mereka kalo Ibu meninggal?" Saya: "Telpon aja..." Alif: "Alif ngga tau nomernya, ibu..." Saya: "Ya sudah... Ayo ambil hp Alif dan Attar. Kita simpan nomer Oom Uyung, Oom Iril dan Oom Farid..." Merekapun melakukannya. Setelah itu, seperti biasanya mereka memeluk saya, mencium saya, dan tertidur. Seakan lega pertanyaannya sudah terjawab. Entah harus merasa apa. Saya tahu, bukannya mereka menginginkan saya meninggal, tapi mereka sedang berfikir apa yang harus mereka lakukan jika saya, dan ayahnya, sebagai orangtua mereka, tak ada. Ternyata, kehadiran kami begitu penting untuk mereka (walau kalau bahasanya Alif sih, tempat minta uang, dan tempat minta angkat-angkat barang... Hehehe...). I love you, sons... Always... Wahai para Oom... Tuh, dititipin dua mahluk ajaib! ^^V Cuaca di Jakarta menurut saya sungguh sedang ngga bersahabat. Puanas minta ampun.. Fiuhh.. Pengennya berendem di air es..
Sore-sore, pulang dari kampus, udah gelisah aja. Kipas-kipas, kegerahan ngga jelas. Mau mandi juga masih keringetan.. Dan si sulung nan lucu itu datanglah.. "Ibu kegerahan ya?" Katanya.. "Iya nih, kak.." Jawab saya lagi.. "Iya.. Memang gerah sekali sekarang ya, Bu.." "Iya kak.. Sudah lama ngga hujan soalnya.. Jadi panas minta ampun.." Saya menambahkan. "Ibu.. Alif tau kenapa ngga hujan-hujan.." Katanya lagi. "Kenapa, kak?" "Soalnya ini bulan puasa.. Kalo hujan, nanti orang-orang pura-pura keluar semua, hujan-hujanan, padahal mau minum tuh.." *Senyum-senyum* Kok kepikiran kesana sih kamu, Nak?!? |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|